Minggu, 03 Juni 2012

ASPEK-ASPEK HUKUM dan NON HUKUM PERDAGANGAN INERNASIONAL dalam SISTEM GATT dan WTO : IMPLIKASINYA BAGI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG


ASPEK-ASPEK HUKUM dan NON HUKUM PERDAGANGAN INERNASIONAL dalam SISTEM GATT dan WTO : IMPLIKASINYA BAGI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG
Oleh : PROF. DR HATA, SH, MH


Abstrak
Dampak ketidakseimbangan kekuatan antar bangsa-bangsa adalah perdagangan internasional telah menjadi hak politik sejak Piagam Havana dinegosiasikan. Pada perjanjian GATT tahun 1947 banyak negara telah berusaha membereskan perbedaan diantara mereka melalui berbagai negosiasi dan menyelesaikan konflik kepentingan melalui mekanisme penyelesaian sengketa.
Pendirian WTO dianggap oleh banyak pihak sebagai puncak dari tahapan proses hukum mengenai perdagangan internasional, yang ditandai dengan keberhasilan atas prosedur penyelesaian sengketa dan diharapkan dapat menciptkan stabilitas serta dapat meramalkan sistem perdagangan dunia. Namun demikian apa yang terjadi dengan putaran Doha ? Dalam pandangan negara berkembang, semakin menunjukan kepada kita betapa perlunya reformasi secara mendasar baik menyangkut substansi maupun prosedur sistem perdagangan dunia versi WTO agar tercipta kerjasama perdagangan yang saling mengntungkan semua pihak yang terkait.
Pendahuluan
Selepas perang dunia II salah satu perhatian utama para pemimpin bangsa didunia adalah bagaimana menata hubungan perdagangan internasional agar supaya terhindar dari praktik-praktik konfrontatif, penetapan hambatan-hambatan perdagangan semena-mena dalam upaya melempar kerugian kepada bangsa lain, bahkan peran dagang yang terjadi di masa-masa sebelum perang dunia. Perang secara militer telah berakhir, tetapi bagaimana dibidang perdagangan internasional ?.
Upaya PBB, dalam hal ini ECOSOC, untuk mendirikan sebuah oranisasi internasional bernama international trade organitation (ITO) yang akan menangani persoalan perdagangan dan pembanunan ternyata mengalami kegagalan dan hasil maksimal yang dicapai adalah disepakatinya untuk sementara waktu sebagian dari naskah piagam ITO yang mengatur perdagangan internasional bernama general agreement on tariffs and trade (GATT). Sejauh mana peranan GATT dan WTO yang menggantikannya dalam menata perdagangan internasional dan implikasinya bagi Negara-negara berkembang khususnya.
Pembahasan
GATT dab tarik menarik kepentingan antara Negara maju dan Negara berkembang
GATT disepakati tahun 1947 sebagai akibat gagalnya Negara-negara yang menyepakati pembentukan ITO. Selalu diwarnai dengan tarik menarik kepentingan antara Negara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang mengajukan usul pengalihan sumber-sunber daya (resources). Di bidang-bidang yang ada kaitannya dengan perdagangan internasional, ingin mengendalikan penanaman modal asing, menghendaki Negara maju menerima suatu disiplin mirip kartel. Agar Negara berkembang dapat mempertahankan harga kondite ekspor yang menguntungkan. Negara-neara berkembang berkeininan memiliki wadah atau lembaga internasional sendiri. Sejak konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 bermaksud menggalan konsolidasi Negara-negara peserta, dan membina kerjasama ekonomi, politik dan kebudayaan. Hasilnya membuahkan konferensi PBB untuk perdagangan dan pembangunan (united nations conference on trade and development / UNCTAD) pada tahun 1964 di Jenewa. Negara-negara berkembang akhirnya berhasil mendapatkan status permanen bagi UNCTAD. Tanggal 30 Desember 1964 jadilah UNCTAD menjadi anggota tetap PBB. Tahun 1872 UNCTAD mengambil keputusan tentang perlunya pembuatan charter of economic rights and duties of states. Usulan ini diajukan ke presiden Mexico, Luis Echeveria Alvarez, yang mengatakan bahwa : “A just and stable world will not be possible until we create obligations and rights which protect weaker states let us take the economic cooperation out of the realm of goodwill and put it into the realm of law.
Erosi disiplin GATT dan dampaknya terhadap Negara berkembang
Tahun 1948 GATT mengalami turun naik dan pasang surut kepatuhan peseranya terhadap norma-norma yang terkandung didalamnya. Menurut Hudec pada tahun-tahun pertama penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga yang disebut produser panel yang telah memperkokoh komitmen Negara di bidang perdagangan internasional. Tahun 1950-an memanfaatkan produser panel ini dalam menyelesaikan sengketa lewat pengadilan GATT, dan dianggap cukup efektif. Tahun 1960-an membawa perubahan dramatis, dimana upaya penyelesaian sengketa secara hukum semakin jarang dilakukan. Perubahan sikap kebijakan perdagangan dapat mengancam system perdagangan yang relative liberal yang telah diciptakan GATT sejak tahun 1948. Peraturan GATT yang oleh pemerintah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga kerapkali dilanggar, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara berkembang. Amerika Serikat dan masyarakat Eropa mempertahankan restraint programme dengan semua pemasok baja mereka lewat perdagangan ekspor, setelah diadakannya perjanjian bilateral. Jepang merupakan sasaran dari banyak penekangan, terutama karena reputasi Jepang sendiri dalam hal proteksionisme. Brazil, Hongkong, Republik Korea meniru keberhasilan Jepang semakin merasakan kekangan terhadap perdagangan ekspornya. Praktik-praktik yang dijalankannya bersifat diskriminatif. Aturan-aturan GATT mengenai subsidi tidak begitu eksplisit/diterima seluruhnya. Negara-negara berkembang merupakan penerima dari prefernsi tariff umum yang diberikan secara sepihak oleh Negara-negara maju. Manfaat diskriminasi positif lebih kecil dibandinkan dengan dampak merugikan dari diskriminasi yan diterapkan oleh neara-neara maju, atas ekspor tekstil, pakaian jadi, dan produk-produk manufaktur lain, merupakan produsen dengan harga rendah. Aturan GATT tidak mampu lagi merujukan kepentingan diantara Negara-negara pesertanya. Akhirnya kembali kemeja perundingan untuk mengevaluasi kelemahan norma GATT, membuat aturan-aturan hukum yang mengikat.
Putaran Uruguay 1984-1993
Puaran Uruguay merupakan putaran perundingan GATT yang terakhir yang melahirkan world trade organitation. Putaran Uruuay secara resmi diluncurkan pada pertemuan tingkat menteri pada bulan September 1986 di Puntadel Este, Uruguay. Putaran perundinan ini terbesar yan pernah diadakan di Negara-negara peserta GATT. Tangal 15 Desember 1993 Trade Negotiaion Committee of The Uruguay Round menerima final act yang berisikan hasil-hasil putaran Uruguay. Dengan diterima Finl Act, berakhirlah perundingan –perundingan GATT yang sudah berlangsung selama 7 tahun. Selama putaran Uruguay Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, aktif memperjuangkan kepentingan dan berhasil memasukan kepentingan utama mereka dalam perundingan, antara lain : Tropical product (kopi, the, coklat, dsb). Negara-negara berkemban menaruh harapan besar pada hasil-hasil yang dicapainya.
Pernyataan Indonesia dalam menyambut hasil persetujuan dagang, sbb :
  1. Menyadari bebas atas keajiban-kewajiban baru yan berlaku, menerima paket putaran Uruguay karena berkeyakinan, pertumbuhan ekonomi dunia berkembang dan system perdagangan internasional yang dil.
  2. Perjanjian tentng hk milik intelektual.
  3. Menerima kewajiban dari paket global, pada Negara-negara berkembang.
  4. Peluan akses pasar yan lebih besar bai negar mitr dagang yng merupakan tujuan utama putaran Uruguay.
  5. Dalam ranka putaran Uruguay disepakati agar produk tekstil secara bertahap sejalan dengan disiplin multilateral.
  6. Sistem perdagangan dunia yan terbuka dan dinamis membutuhkan kesediaan dari semua pihak unuk menerima peralihan dlam keuntungan komparatif untuk melaksanakn penyesuain structural apabila diperlukan.
  7. Negara-negara berkembang menyadari keharusan melakukan penyesuaian struktural.
  8. Menggunakan dalil kepedulian social dan linkungan untuk membatasi perdagangan.
  9. Menjadikan kewajiban semua pihak untuk tidak memperlemah WTO yang masih akan dibentuk dengan cara membebaninya dengan isu-isu controversial.

WTO keberhasilan dan kegagalan
Dengan kelahiran WTO dapat menempatkan Negara-negara lemah pada posisi sejajar dengan Negara maju. Disiplin multilateral yng mengikat dibidang perdagangan internasional. Putaran Uruguay merupakan titik awal berubahnya pengharapan Negara-negara berkembang atas system perdaganan multilateral dan partisipasi. Banyak keberhasilan yan dicapi diberbagai bidang, terutama dalam kemampuan WTO, menyelesaikan perselisihan dagang ntar anggota atas dasar hukum yang mengikat. Tahun 1996 diadakan konferensi tingkat menteri WTO pertama di Singapur. Keberhasilan AS dan Negara-negara maju, munculah penanaman modal (investment), kebijakan persaingan (competition policy), kontrak-kontrak pemerintah (government procurement), dan fasilitas perdagangan (trade facilitation).
Permasalahan isu Singapura dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Menghendaki dibuatnya peraturn dibidang penanamn modal asing, termsuk aturan untuk mencegah Negara uan rumah membuat persyaratan berlebihan bagi pihak yang ingin berinvestasi.
  2. Menghendaki aturan-aturan WTO dibidang persaingan usaha.
  3. Cara-cara pemerintah membuat kontrak dianggap tidak transparan sehingga menjurus pada keputusan yang tidak adil dan korupsi.

Negara-negara berkembang menentang usulan ini
Mereka berpendapat Singapura akan merampas kewenangan mereka untuk mengatur perusahaan-perusahaan asing, mengeruk keuntungan lebih besar dan lebih gampang dinegaranya. Negara sangat menentang kebijakan pemberian subsidi yang dilakukan Uni eropa dan AS kepada para petani mereka. Kebijakan Negara-negara maju mengakibatkan harga produk pertanin mereka yang seharusnya lebih mahal dari pada produk petani Negara berkembang dapat dijual lebih murah dipasar dunia berkat subsidi yang sangat besar dari pemerintah. Negara-negara kaya mensubsidi pertaniannya tidak kurang dari 300 miliar Euro setiap tahunnya, dan mengenakan tariff tinggi bagi impor produk pertanian Negara-negara berkembang.
Kegagalan perundingan merupakan kerugian bai Negara-negara miskin yang seharusnya diuntunkan dari turunnya harga dan terbukanya perdagangan.

Penutup
Dengan segala kekurangannya yang dimiliki WTO, WTO pun masih dibutuhkan oleh semua negara. Data menunjukan apa yang sudah dicapai maupun yang belum dicapai. Sedemikian jauh tampaknya aspek positif masih leih banyak daripada aspek negatifnya. Rule-base system harus diperhatikan karena terbukti memberikan keamanan dan prediktabilitas bagi perdagangan internasional. Ini dibuktikan antara lain oleh kenyataan bahwa negara anggota yang lemah sekalipun dapat mengadukan negara kuat jika kepentingan dagangnya terganggu sehingga sangat mengurangi pengaruh tekanan bilateral dari negara kuat. Setiap pemerintah negara harus berusaha keras meningkatkan kemakmuran bangsanya lewat perdagangan internasional namun setiap kebijakan yang dibuat harus tetap mempertimbangkan kepentingan negara lain. Sebelum menjadi Dirjen WTO, Pascal Lamy pernah mengingatkan : free trade is not natural. Tampaknya kini dia sedang bekerja keras meminta bantuan dari semua pihak, untuk merawat dan menyelamatkan WTO yang sedang sakit agar supaya  jantungnya terus berdenyut dan bahkan bisa pulih kembali.

Nama kelompok :
1)     Daniel Anugrah Wibowo
2)     Deden Muhammad
3)     Nur rahman
4)     Peter burju
5)     Rahman hidayah
6)     Sulung panji



Tidak ada komentar:

Posting Komentar