PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
ARBITRASE
DALAM INVESTASI PERDAGANGAN
Soemali, SH., MHum.
Lidia Noor Yulyanti
ABSTRAK
Penyelesaian sengketa
investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu litigasi dan non
litigasi.Salah satu bentuk penyelasain sengketa non litigasi yang biasa digunakan
dalam investasi perdagangan adalah arbistrase.
Arbistrase mulai dikenal dalam
sistem hukum di Indonesia semenjak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian
yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak.Terhadap putusan
arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan mengikat sehingga dapat dieksekusi
secara sederhana. Akan tetapi apabila salah satu merasa dirugikan dapat mengajukan
keberatan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Era perdagangan bebas menjadikan
negara seakan-akan tanpa batas khususnya dalam bidang perdagangan internasional
atau dagang internasional, yaitu yang melibatkan beberapa negara. Dalam
menyongsong perdagangan bebas diperlukan suatu perangkat aturan yang jelas dan
memadai, yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari dalam mengadakan
transaksi dagang.Timbulnya masalah dari perdagangan atau dagang internasional
umumnya berkaitan dengan risiko tertentu yang terjadi karena penerapan
peraturan hukum yang berbeda, apalagi jika salah satu negara tidak mengakui
hukum nasional negara asing.
Dalam menjalin hubungan dagang
antara para pihak, baik dalam skala domestik maupun internasional, para pihak
senantiasa menghendaki agar segala apa yang telah disepakati dan dituangkan
kedalam perjanjian dapat dipenuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, yaitu,
sesuai dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam kontrak tersebut.
Hal ini mengandung maksud bahwa
ikatan dagang yang telah disepakatinya tersebut terdapat kepastian hukum
terhadap segala hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dagang tersebut.
Pemenuhan hak dan kewajiban sebagaimana telah diperjanjikn akan menimbulkan
proses resiprositas
diantara
para pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai kata sepakat
untuk mengadakan perjanjian dagangterjalin suatu hubungan yang langgeng,
sehingga dapat berlangsung untuk jangka panjang, serta mencegah kemungkinan
timbulnya sengketa. Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun
internasional semula diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan pertimbangan pertimbangan
tertentu, sengketa dagang internasional tersebut diselesaikan melalui lembaga
di luar sidang pengadilan (non litigasi). Penyelesaian dagang melalui
lembaga peradilan umum dilangsungkan oleh lembaga pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian
sengketa dagang melalui lembaga non litigasi diselenggarakan oleh lembaga arbitrase.
Penyelesaian melalui lembaga
arbitrase di Indonesia diawali pada tahun 2007
dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asingmengenai Penanaman
Modal. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 (selanjutnya disingkat
UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi dari Konvensi International Centre for
the Settlement of Investment Desputes between States and Nationals of other
States (ICSID).
Meskipun telah ada ketentuan yang mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan
yang mengatur masalah arbitrase yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999).
Rumusan Masalah
1.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
2.
Upaya
hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong
penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute
approach)
dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan
dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara
membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan.
2 . Sumber Bahan Hukum
a) Bahan hukum primer adalah bahan
hukum yang sifatnya mengikat berupaperaturan perundang-undangan yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999
dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b)
Bahan
hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer,
dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku
literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.
PEMBAHASAN
A.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam
investasi perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Menurut Black's Law Dictionary:
"Arbitration.
an arrangement for taking an
abiding by the judgement of
selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish
tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and
vexation of ordinary litigation".
Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa Latin, yakni
arbitrari yang berarti suatu penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim (arbitrator) atau para hakim (arbitrator) berdasarkan persetujan bahwa
mereka tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim
yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. H.M.N.
Putwosutjipto menerjemahkan istilah arbitration (Inggris) atau arbitrage (Belanda) dengan perwasitan.
Kemudian perwasitan itu didefinisikan sebagai suatu peradilan perdamaian dimana
para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat
mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak,
yang ditunjuk oleh
para pihak oleh hakim yang tidak memihak,
yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah
pihak.
Arbitrase menurut Subekti
diartikan sebagai berikut: “Arbitrase adalah
penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim mereka
pilih atau tunjuk tersebut”.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30
Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Memperhatikan definisi arbitrase
sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan
bahwa arbitrase merupakan suatu
bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum, didasarkan perjanjian,
yang dibuat secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa.
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat
dikemukakan dari definisi
perjanjian arbitrase, di
antaranya:
1.
Perjanjian
arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
2.
Perjanjian
arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3.
Perjanjian
tersebut ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar
peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata
melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan
Negeri saja, karena jika dengan putusan peradilan tingkat pertama tersebut
terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada
peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika
putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak merasa
keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi pada
Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan terhadap
putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian tentunya
penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya
juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya.Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama,bahwa para pedagang pada umumnya
takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya.Tentunya banyak biaya yang harus
dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan
melalui eksekusi.
Oleh karena itu tentunya
penyelesaian melalui lembaga
peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati, sesuai pula dengan yang
dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada
perkembanganya, terutama menyangkut
masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang internasional, penyelesaian
sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
Hal ini disebakan oleh adanya
beberapa faktor, di antaranya:
1.
Lamanya
proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;
2.
Lamanya
penyelesaian sengketa dapat pula disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian
sengketa,
3.
Lama
dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya
membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;
4.
Sidang
pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain kerahasiaan
adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan dagang;
5.
Seringkali
hakim yang menangani atau menyelesaikan sengketa dalam dagang kurang menguasai
substansi hukum sengketa yang bersangkutan atau dengan perkataan lain hakim
dianggap kurang profesional, dan
6.
Adanya
citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia.
Penyelesaian sengketa dagang dapat
dilakukan di luar lemabaga peradilan yaitu
penyelesaian dengan menggunakan
jasa arbitrase (non
litigasi).
Pada umumnya
pengusaha asing lebih senang
menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase,
dengan pertimbangan:
Pertama, pengusaha asing lebih suka
menyelesaikan sengketa melalui perjanjian
arbitrase di luar negeri karena
menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat
asing bagi mereka.
Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju
beranggapan bahwa hakim-hakim negara berkembang tidak menguasai
sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubunganhubungan niaga dan keuangan
internasional yang rumit.
Ketiga, pengusaha negara maju
beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang
lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat
pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
Keempat, keengganan pengusaha asing untuk
menyelesaikan sengketa di depan
Pengadilan bertolak dari anggapan
bahwa Pengadilan bersifat subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa
dan diadili berdasarkan bukan hukum negara mereka, oleh hakim bukan dari negara
mereka.
Kelima, penyelesaian sengketa di
Pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya
akan dapat merenggangkan hubungan dagang antar mereka.
Keenam, penyelesaian sengketa melalui
perjanjian arbitrase tertutup sifatnya, sehingga tidak ada publikasi mengenai
sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh
para pengusaha.
Dengan kondisi sebagaimana di
atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan-kelebihan jika
dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur peradilan umum. Kelebihan
tersebut di antaranya adalah:
a)
Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak;
b)
Dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran dan administrasi;
c)
Para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempu-nyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup menge-nai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil;
d)
Para
pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e)
Keputusan
arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara
(prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase merupakan salah satu
alternatif diantara sekian banyak alternatif forum
penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model penyelesaian
sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute
settlement).
Selain arbitrase, terdapat pula berbagai alternatif penyelesaian sengketa
dagang secara non litigasi, antara lain meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya.
Di antara berbagai model penyelesaian
sengketa non
litigasi tersebut,
maka arbitrase
yang
memiliki ciri tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak, arbitrase termasuk sebagai model non litigasi, oleh karena menyangkut
penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan atas dasar kesukarelaan
para pihak.
Para pihak yang bersengketa
memiliki otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum,
aturan, prosedur, arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap
sesuai dengan kehendak bersama para pihak.Termasuk adanya prinsip “private and confidential” yang merupakan ciri yang paling
litigasi. Di pihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase
bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan
untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable). Putusan arbitrase yang bersifat
final dan mengikat memberikan penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan
efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain dari pada itu, dengan
dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui lembaga peradilan
memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa.
Menurut. Subekti
bagi dunia perdagangan atau
bisnis, penyelesaian sengketa
lewat arbitrase atau perwasitan,
mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia
dilakukan :
a) Dengan cepat;
b) Oleh ahli dari;
c) Secara rahasia.
Sementara itu Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase)
adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. Para wasit terdiri
dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu
membuat putusan yang memuaskan para pihak. Putusan akan lebih sesuai dengan
perasaan keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan
inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Namun Lembaga arbitrase masih
memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan
negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya
pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Apabila hubungan dagang terjadi
suatu sengketa, penyelesaian sengketa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, di
antaranya:
a)
Model
penyelesaian sengketa dagang dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement),
b)
Model
penyelesaian sengketa dagang dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement), yang masing-masing mempunyai
karakteristik dan konsekuensi yang berlainan.
Apabila memperhatikan uraian di
atas dapat dijelaskan bahwa dasar penunjukkan lembaga arbitrase oleh para pihak
dalam hubungan dagang adalah kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dagang
tersebut. Hal ini mengandung maksud bahwa penunjukkan penyelesaian sengketa
dagang oleh lembaga arbitrase harus dicantumkan secara jelas dalam klausula
dagang, sejalan dengan asas yang terkandung dalam kebebasan berkontrak, yaitu
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya (Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata).
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat
dikemukakan dari definisi Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat
antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan baik nasional maupun internasional,
maka harus dibuat memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif perjanjian arbitrase, selain
perjanjian harus dibuat oleh pihakpihak
yang telah cakap bertindak dalam
hukum dan sepakat antara kedua belah pihak,
perjanjian tersebut harus dibuat
oleh pihak-pihak yang demi hukum dianggap
mempunyai kewenangan untuk membuat
perjanjian. Para pihak yang membuat
perjanjian arbitrase tidak
dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata, melainkan juga
termasuk di dalamnya subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah satu pihak
adalah subjek hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala sesuatu
yang berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek hukum
publik diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas.
Syarat objektif perjanjian arbitrase atau dalam
hal ini adalah sengketa yang akan
diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang
perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman
modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) UU
Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam
B.W. Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penyelesaian perselelisihan
melalui arbitrase adalah institusi hukum alternatif
bagi penyelesaian sengketa di luar
lembaga pengadilan. Sebagian pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang
timbul di antara mereka melalui perjanjian arbitrase dari pada pengadilan.
Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase
di luar pengadilan karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing
bagi mereka.
Oleh karenanya bisa saja negara
yang bersangkutan mempunyai prasangka yang jelek terhadap sistem hukum negara
di mana modal akan ditanamkan, khususnya yang menyangkut masalah kepastian
hukum dan keadilan serta kredibilitas hakim penyelesaian sengketa tersebut.
Oknum-oknum yang cenderung mempersulit
proses pencarian keadilan,
peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang
dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas
dapat dijelaskan bahwa penyelesaian masalah
secara arbitrase di Indonesia
berkembang setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999. Penyelesaian melalui
arbitrase banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan waktu yang dibutuhkan
jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian
melalui peradilan umum. Selain itu
penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga
kerahasiaan pihak-pihak
B. UPAYA HUKUM PARA PIHAK
YANG MENOLAK PUTUSAN ARBITRASE
Di atas telah dijelaskan bahwa
arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya
aturan arbitrase yang berlaku umum
pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia,
hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30tahun 1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada
uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal
615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan: “Adalah
diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai
hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan
pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit.” Kemudian
dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan : “Bahkan adalah diperkenankan
mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang
mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang
wasit.” Ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa
berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada seorang atau
beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut
asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa.
Para pihak yang bersengketa berhak
untuk melakukan penunjukkan itu
setelah ataupun sebelum sengketa
terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula
arbitrase dalam perjanjian pokok
mereka (Pactum
De Kompromitendo).
Sedangkan
penunjukan arbitrase sebagai cara
penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit
dilakukan dengan membuat
persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan macam-macam
arbitrase, secara umum dalam praktek
dikenal dua macam arbitrase dalam
praktek, yaitu :
Arbitrase
ad-hoc atau volunter
arbitrase sifatnya
tidak permanen atau insidentil.
Arbitrase ini keberadaannya hanya
untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus
sengketa tertentu saja. Setelah
sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan
sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa ini ditentukan dan
dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara
pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang
waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki
bentuk yang baku. Hanya saja dalam
pemilihan dan penentuan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
BATAS WAKTU PROSES
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
memberikan maksimum jangka waktu
penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak arbiter
atau majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga melahirkan
tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian
penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase tersebut denga para
pihak yang bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan
yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tatacara (prosedur) yang
sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator
ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan
arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak
mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi.
Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua
belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau
kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase
Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia,
namun penyelesaiannya harus melalui lembaga
ICSID dan putusan arbitrase
internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa, putusan
Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral,mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann umum, putusan
Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66
UU No. 30 Tahun 1999): Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian berkas
permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) harus disertai
dengan: lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional,
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahann
resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau salinan otentik perjanjian
yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa
Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik di negara tempat Putusann
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional,
(Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para
pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut surat atau dokumen yang
diajukan dalam pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau
dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil
tipu muslihat yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999.
Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan
dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeridalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan diterima. Terhadapputusan Pengadilann Negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30
Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan
sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa putusan arbitrase
sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut ada pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut.
Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri
pada daerah hukum di mana para pihak tersebut bersengketa.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Penyelesaian
masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU No. 30 Tahun 1999
tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat menekan lamanya waktu, biaya
dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga sangat tepat untuk para pebisnis
dari negara asing.
2.
Putusan
Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat secara langsung
terhadap pihak yang bersengketa. Karena Penyelesaian menggunakan arbitrase
merupakan pilihan kedua belah pihak yang bersengketa dan seharusnya hasil
keputusan arbiter tersebut mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil keputusan
arbitrase tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para pihak yang
menolak putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan pembatalan keputusan
arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri.
B.
Saran
1.
Penyelesaian
secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga sebagian
masyarakat belum mengetahui eksistensi lembaga arbitrase untuk itu hendaknya
mengenai eksistensi lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat
luas.
2.
Penyelesaian
secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak yang
ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum permohonan
pembatalan keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri
mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam
menerbitkan penetapan atas permohonan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991.
Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001.
Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed In
USA, 1990 Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam
Pembangunan Hukum
Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.
Pitlo, Pitlo, Pembuktian dan
Daluwarsa, Intermasa,
Jakarta, 1986.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum
Dagang Indonesia,
Jilid 1, Djambatan,
Jakarta, 1992.
Retnowulan Soetantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1998.
Ricky W. Griffin dan Michail W.
Pustay, Bisnis
Internasional,
Jilid I, Indeks, Jakarta,
2005.
Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang
Indonesia I,
Ghama Media,
Yogyakarta, 1999.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Umum,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1995._______, Seluk Beluk dan
Asas-asas Hukum Perdata,
Alumni, Bandung, 1989.
Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan
dan Relevansinya,
Kanisius, Jakarta 1998.
Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta,
1981._______, Hukum
Perjanjian,
, Intermasa, Jakarta, 1991.
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase
Baru 1999,
Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di
Indonesia,
Liberty, Yogyakarta,
1979.
Vollmar, Inleiding tot de studie
van het Nederlands Burgerlijk Recht, Terjemahan Adiwimarta,
Gajahmada, Yogyakarta, 1962.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di
Indonesia,
Sumur Bandung, 1991.
B. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengetahuan Ratifikasi Trade Relate
Asfect Propertus Rungkit.
Nama kelompok :
1. Daniel Anugrah Wibowo
2. Deden
3. Peter Burju
4. Rahman H
5. Sulung Panji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar